Gerakan Mahasiswa selalu menjadi topic menarik dikalangan mahasiswa maupun mereka yang pernah melalui masa-masa menjadi Aktivis mahasiswa. Terlebih romantisme sejarah pergerakan mahasiswa di negri kita Indonesia, selanjutnya menginspirasi pergerakan mahasiswa di era kini. Dari lahirnya Gerakan Intelktual Muda Boedi Oetomo (20 Mei 1908) merupakan organisasi pelajar-pemuda-mahasiswa tertua di Indonesia yang memiliki system organisasi modern pada masanya. Periode berikutnya (1922) Mohammad Hatta sebagai salah satu orang Indonesia yang menempuh study di Nederland Handelshogeshool Rotterdam-Belanda mendirikan Indische Vereeninging/Indonesische Vereeninging yang berorintasi politik jelas dan pada 1925 untuk memperjelas identitas nasionalisme, organisasi ini berubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia.
Di ere perjuangan kemerdekaan sampai era mempertahankan kemerdekaan, gerakan intelektual muda yang menjadi kekuatan inti dalam sejarah nasional. Tidak ketiggalan diera orde lama , sumbangsi gerakan mahasiswa dalam pembentukan orde baru yang menjadi akibat dari runtuhnya orde lama yang dinilai blunder dalam ‘mengawinkan’ idiologi Nasionalis religius , sosialisme, dan komunis. Demkian juga lahirnya orde Reformasi setelah runtuhnya orde lama., Gerakan mahasiswa masih menjadi pusat kekuatan pembaharuan pembangkit kekuatan bangsa yang terpuruk.
Mahasiswa selalu menempati posisi Istimewa dalam setiap zaman pergerakan nasional, pelaku sejarah perubahan. Hanya saja apakah budaya kekerasan menjadi hal yang lumrah menyertai tindakan-tindakan mahasiswa melakukan perbaikan-perbaikan serpihan keadilan yang diabaikan.
Dalam dasar Negara kita, memberi penekanan akan pentingnya rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, tentang kebijaksanaan, kesantunan dalam bermusyawarah dan keiklasan dalam bermufakat. Hal demikian sepertinya tidak lagi menjadi patokan bangsa ini dalam menenpuh maksud dan tujuan. Menganspirasikan keinginan dan harapan dengan cara frontal tanpa etikal.
Kekerasan yang terjadi dalam aksi-aksi mahasiswa dapat menjadi indikasi dari ketidak patutan generasi bangsa dalam menjunjung nilai-nilai budaya pancasila. Baik dikalangan demonstran (kebanyakan mahasiswa) serta kalangan penegak hukum (kepolisian) mudah terpancing amarahnya dam bertindak kasar pula terhadap para demonstran. Apakah begit mdahnya mahasiswa kehlangan kesabaran, bukankah perjuangan membutuhkan ketabahan. Sehingga idealisme tidak mesti ditumpahkan untuk hal-hal sesaat dan tak berefek perubahan besar. Elemen bangsa ini sebagian besar seakan memiliki trend baru yaitu tidak sabaran. ‘ringan tangan’ untuk berbuat anarkis, ringan lidah untuk meyuarakan bahasa-bahasa kedengkian, bahasa tirani dan membelenggu. Muali dari kalangan eksekutif yang alergi kritikan, legislative yang suka tauran layaknya pelajar, kuping polisi yang tiba-tiba suhunya naik sampai 100°c jika mendengar provokasi dari mahasiswa. Atas semua kondisi ini tidak lebay jika kita mengatakan bahwa masyarakat kita seperti layaknya (maaf ) wanita yang sedang menstruasi. Sensitive dan mudah marah, kesal dan penyakit sensi lainya.
Menurut penulis, yang menjadi kelemahan kita juga adalah kurang cakapnya kita berkomunikasi dalam menyampaikan aspirasi., ketidak siapan bermusyawarah serta kerendahan hati dalam bermufakat. Bukankah lebih etis Aspirasi disampaikan secara bermartabat. penulis juga mengangap bahwa pemicu aksi anarkis selanjutnya adalah kesediaan pemimpin bangsa dalam membuka ruang demokrasi, ruang berdialog dan bernegosiasi. Bisa saja ruang itu telah terbuka hanya saja dibarengi dengan ketidak seriusan untuk menepati janji dan bahkan bertopeng kemunafikan retorika yang santun serta mimik wajah yang ramah. Bisa jadi, hal-hal seperti ditutrkan sebelumnyalah yang menjadi pemicu aksi-aksi anarkis para mahasiswa belakangan ini dalam memperingati hari anti korupsi.
Kita membutuhkan manusia seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King, ataupun Nelson Mandela, yang percaya pada kelembutan kasih dan keteguhan hati dalam memperjuangkan aspirasi. Tidakah lebih mulia dan terhormat menjadi mahasiswa pencinta damai menebarkan kesabaran , kelemah lembutan dan kasih saying. Menjadi pendamai yang meredam terjadinya crime against humanity dan membawa peace on earth yang selalu didambakan oleh anak-anak bani Adam.
Dalam peringatam hari anti korupsi, Bukiankah niatan sesungguhnya mengorganisir gerakan moral untuk membuat koroptor kapok melakkan korupsi dengan menghukum seberat-beratnya para koruptor dan mengisolasi mereka secara moral. Hanya saja aksi tersebut berujung pada perseteruan bukan persatuan antar mahasiswa dan kepolisian dalam memerangi korupsi. Pada akhirnya para koruptor bersama antek-anteknya (iblis) tertawa lebar menyaksikan perseturuan rifal sejatinya.
Sepertinya kita perlu mengenang Arsitek pemersatu Indonesia, bung Karno agar elemen masyarakat bangsa ini termasuk mahasiswa dan aparat kepolisian serta pemmpin kita menyatu menjadi gerakan yang kokoh dalam memerangi korupsi.
Pemimpin kita harus lebih menyadari akan rapuhnya nilai-nilai keadaban. Bangsa kita merindukan kedamaian, kesantunan lebih dari sebelumna Pancasila menanti hari ntuk direvitalisasi. Zaman baru dimana peri kemanusiaan, dan peri keadilan yang terbungkus dalam pancasila yang setiap saat menafasi gerak seluruh elemen bangsa kita.
Akhir kata, Dengan mengutip kata Bang Anis Baswedan bahwa ‘Kita harus optimis namun tetap kritis untuk membangun bangsa’.
Di ere perjuangan kemerdekaan sampai era mempertahankan kemerdekaan, gerakan intelektual muda yang menjadi kekuatan inti dalam sejarah nasional. Tidak ketiggalan diera orde lama , sumbangsi gerakan mahasiswa dalam pembentukan orde baru yang menjadi akibat dari runtuhnya orde lama yang dinilai blunder dalam ‘mengawinkan’ idiologi Nasionalis religius , sosialisme, dan komunis. Demkian juga lahirnya orde Reformasi setelah runtuhnya orde lama., Gerakan mahasiswa masih menjadi pusat kekuatan pembaharuan pembangkit kekuatan bangsa yang terpuruk.
Mahasiswa selalu menempati posisi Istimewa dalam setiap zaman pergerakan nasional, pelaku sejarah perubahan. Hanya saja apakah budaya kekerasan menjadi hal yang lumrah menyertai tindakan-tindakan mahasiswa melakukan perbaikan-perbaikan serpihan keadilan yang diabaikan.
Dalam dasar Negara kita, memberi penekanan akan pentingnya rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, tentang kebijaksanaan, kesantunan dalam bermusyawarah dan keiklasan dalam bermufakat. Hal demikian sepertinya tidak lagi menjadi patokan bangsa ini dalam menenpuh maksud dan tujuan. Menganspirasikan keinginan dan harapan dengan cara frontal tanpa etikal.
Kekerasan yang terjadi dalam aksi-aksi mahasiswa dapat menjadi indikasi dari ketidak patutan generasi bangsa dalam menjunjung nilai-nilai budaya pancasila. Baik dikalangan demonstran (kebanyakan mahasiswa) serta kalangan penegak hukum (kepolisian) mudah terpancing amarahnya dam bertindak kasar pula terhadap para demonstran. Apakah begit mdahnya mahasiswa kehlangan kesabaran, bukankah perjuangan membutuhkan ketabahan. Sehingga idealisme tidak mesti ditumpahkan untuk hal-hal sesaat dan tak berefek perubahan besar. Elemen bangsa ini sebagian besar seakan memiliki trend baru yaitu tidak sabaran. ‘ringan tangan’ untuk berbuat anarkis, ringan lidah untuk meyuarakan bahasa-bahasa kedengkian, bahasa tirani dan membelenggu. Muali dari kalangan eksekutif yang alergi kritikan, legislative yang suka tauran layaknya pelajar, kuping polisi yang tiba-tiba suhunya naik sampai 100°c jika mendengar provokasi dari mahasiswa. Atas semua kondisi ini tidak lebay jika kita mengatakan bahwa masyarakat kita seperti layaknya (maaf ) wanita yang sedang menstruasi. Sensitive dan mudah marah, kesal dan penyakit sensi lainya.
Menurut penulis, yang menjadi kelemahan kita juga adalah kurang cakapnya kita berkomunikasi dalam menyampaikan aspirasi., ketidak siapan bermusyawarah serta kerendahan hati dalam bermufakat. Bukankah lebih etis Aspirasi disampaikan secara bermartabat. penulis juga mengangap bahwa pemicu aksi anarkis selanjutnya adalah kesediaan pemimpin bangsa dalam membuka ruang demokrasi, ruang berdialog dan bernegosiasi. Bisa saja ruang itu telah terbuka hanya saja dibarengi dengan ketidak seriusan untuk menepati janji dan bahkan bertopeng kemunafikan retorika yang santun serta mimik wajah yang ramah. Bisa jadi, hal-hal seperti ditutrkan sebelumnyalah yang menjadi pemicu aksi-aksi anarkis para mahasiswa belakangan ini dalam memperingati hari anti korupsi.
Kita membutuhkan manusia seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King, ataupun Nelson Mandela, yang percaya pada kelembutan kasih dan keteguhan hati dalam memperjuangkan aspirasi. Tidakah lebih mulia dan terhormat menjadi mahasiswa pencinta damai menebarkan kesabaran , kelemah lembutan dan kasih saying. Menjadi pendamai yang meredam terjadinya crime against humanity dan membawa peace on earth yang selalu didambakan oleh anak-anak bani Adam.
Dalam peringatam hari anti korupsi, Bukiankah niatan sesungguhnya mengorganisir gerakan moral untuk membuat koroptor kapok melakkan korupsi dengan menghukum seberat-beratnya para koruptor dan mengisolasi mereka secara moral. Hanya saja aksi tersebut berujung pada perseteruan bukan persatuan antar mahasiswa dan kepolisian dalam memerangi korupsi. Pada akhirnya para koruptor bersama antek-anteknya (iblis) tertawa lebar menyaksikan perseturuan rifal sejatinya.
Sepertinya kita perlu mengenang Arsitek pemersatu Indonesia, bung Karno agar elemen masyarakat bangsa ini termasuk mahasiswa dan aparat kepolisian serta pemmpin kita menyatu menjadi gerakan yang kokoh dalam memerangi korupsi.
Pemimpin kita harus lebih menyadari akan rapuhnya nilai-nilai keadaban. Bangsa kita merindukan kedamaian, kesantunan lebih dari sebelumna Pancasila menanti hari ntuk direvitalisasi. Zaman baru dimana peri kemanusiaan, dan peri keadilan yang terbungkus dalam pancasila yang setiap saat menafasi gerak seluruh elemen bangsa kita.
Akhir kata, Dengan mengutip kata Bang Anis Baswedan bahwa ‘Kita harus optimis namun tetap kritis untuk membangun bangsa’.
0 komentar:
Posting Komentar